Senin, 07 Januari 2013

akal dan nafsu

Prakata Penerjemah

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, yang diciptakan berbeda dengan ciptaan-Nya yang lain. la diciptakan dengan sempurna, memiliki dua dimensi, yakni dimensi biologis dan psikologis. Dimensi biologis, pada umumnya manusia sudah memiliki kemampuan untuk mengenal, memahami dan menanggulangi segala kemungkinan yang timbul dari dan akibat biologis. Berbagai masalah yang berkembang yang ada dewasa ini, sudah mampu diantisipasi dan ditanggulangi dengan berbagai upaya ilmiah dan teknologi. Sebaliknya dimensi psikologis (kejiwaan) masih banyak manusia yang belum atau tidak mengenal dan memahaminya. Para psikolog pun belum mampu menyingkap misteri psikologis/jiwa secara mendetail. Karena ilmu jiwa hanya mampu mendeteksi dari pantulan jiwa yang terekspresikan melalui temperamen, sikap dan perwujudan secara lahiriah. Sehingga secara ilmiah misteri jiwa (dengan berbagai sumbernya) belum terupayakan untuk dikenali dan dipahami dengan baik.
Pemahaman terhadap jiwa manusia bukanlah hal yang mudah dan sederhana, namun sangat urgen bagi setiap manusia untuk memahaminya. Masalah jiwa telah banyak ditulis oleh cendekiawan, ulama dan lainnya dengan berbagai sudut pandang mereka masing-masing. Namun, dalam kajian dan analisanya masih belum memberikan sistematika penyajian yang baik dan ruang lingkup yang komprehensif. Sehingga kesimpulan akhir yang diraihnya belum memberikan kepuasan ilmiah bagi setiap pembacanya. Tidaklah berlebihan bahwa kitab yang satu ini akan memberikan wawasan yang dalam perihal jiwa manusia dan meraih kepuasan ilmiah dari sistematika penyajian serta argumentasi yang akurasi. Kitab ini mengkaji perihal jiwa manusia dongan berbagai sumbernya secara mendalam dan detail.
Ruang lingkup telaah kitab ini sangat luas, sehingga tidak syak lagi akan luasnya wawasan penulisnya. Kandungannya sangat sarat dengan ungkapan-ungkapan Hadis Ahlul Bait Nabi SAWW Para Imam Ahlul Bait telah memberikan kejelasan tentang jiwa dengan segala sumbernya melalui sabda-sabda mereka yang dihimpun oleh penulis dengan sumber rujukan dari berbagai kitab yang memuat perihal tersebut. Tafsiran dan penjelasan tentang sumber-sumber jiwa manusia telah dipaparkan penulis dengan sangat sistematis dan rinci. Salah satu sumbernya adalah hawa nafsu.
Dalam kitab ini telah diungkapkan dengan jelas tentang fungsi dan peranan hawa nafsu dalam kehidupan manusia; keterkaitan antara hawa nafsu dan sumber-sumber jiwanya masing-masing: mekanisme operasionalnya dan pengendaliannya dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup manusia. Sungguh sangat urgen bagi kita untuk mengetahui masalah hawa nafsu dengan berbagai masalahnya yang telah diungkapkan dalam kitab ini. Sehingga saya memandang perlu untuk mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia guna tersebarluasnya wawasan baru ini kepada para pembaca yang belum mampu menelaah kitab aslinya, yang berbahasa Arab.
Buku yang ada di hadapan anda ini sangat penting untuk dibaca dan disimak secara seksama. Kandungan isinya sarat dengan berbagai argumentasi dan dalil. Penulis kitab ini telah mengungkapkan dalam kajiannya dengan landasan dalil nakli - Al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAWW melalui jalur Ahlul Baituya. Sehingga semakin luas paparan dan jelas kesimpulan setiap pokok bahasan yang diungkapkan dan dipaparkan penulis kitab ini. Hal inilah yang akan diraih oleh setiap pembaca yang telah menelaahnya menuju kepada kesimpulan akhir bahwa hawa nafsu sangat esensial bagi manusia dalam menempuh kesempurnaan hidup.
Dalam penyelesaian alih bahasa buku ini, karni telah banyak melibatkan beberapa asatidz dan bahkan tidak segan-segan pula kami mendiskusikan istilah-istilah yang sering digunakan berkenaan dengan masalah "Hawa Nafsu". Sehingga selesailah terjemahan ini, yang semua itu berkat partisipasi dan dukungan berbagai pihak yang telah ambil bagian dalam proses penyelesaiannya.
Untuk itu, kami sampaikan banyak terimakasih kepacla Ustudz Musa Husein Al-Habsyi, Ustadz Ali Umar Al-Habsyi dun Ustadz M.T. Yahya yang telah membantu dan ikutambil bagian dalam penyelesaian penerbitan buku terjemahan ini. Semoga apa yang telah diberikan dalam tugas ini diterima sebagai amal kebajikan.
Kemudian, kami memobon kepada Allah SWT semoga pahala buku terjemahan ini, dianugrahkan kepada guru kami yang tercinta Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi r.a dan Almarhum K.H. Abdul Kholiq yang telah banyak mendidik dan membimbing kami. Dan begitu pula pahala buku terjemaban ini kami haturkan kepada kedua orang tua kami, semoga Allah senantiasa merahmati dan memberkahinya. Ilahi Amin.
Akhirnya, kami berharap, semoga buku terjemahan ini akan bermanfaat bagi setiap insan yang ingin menyadari akan potensi jiwa dengan berbagai sumbernya yang telah diberikan Allah kepada dirinya, untuk difungsikan sebagai kekuatan yung mampu menyadarkan dan mengarahkan untuk menuju kesempurnaan hidup.
Bangil, 25 Sholar 1418 H
Penerjemah
Shohib Aziz Zuhri [1]
Pengantar
Oleh: Musa Husein Al-Habsyi
Gunan Makun keh Chu To Beguzary Jahan Guzarad,
Hezar Syam' Bekusytan va Anjuinan Baqi-ist.
(Jangan pikir kareua kau hengkang,
duniapun turut hilang,
Ribuan lilin 'tlah tiada,
tapi anjuinan tetap ada.)
Puisi ini mengisyaratkan kedawaman gerak segenap anak manusia menuju Allah. Puisi Persia kaum Sufi ini rnenggambarkan bahwa meski manusia telah meninggalkan dunia, geraknya menuju Allah tiada pernah tuntas. Anjuman ialah perkumpulan kaum Sufi untuk menjalankan berbagai aktivitas mereka. Intisari yang ingin mereka ungkapkan adalah bahwa gerak ruhani manusia menuju Allah itu panjang nan terus-menerus. Dari satu alam ke alam yang lain. Demikian seterusnya.
Ada ungkapan lain kaum Sufi yang juga cukup unik. Khuliqal insanu lil abad walakinnahu intaqala min darin ila dar, kata mereka. Artinya, manusia itu dicipta untuk keabadian, tapi dia berpindah dari satu persinggahan ke persinggahan yang lain. Tujuan penciptaannya tidak akan pernah selesai. Karena itu, dia tidak akan punya "waktu kosong".
Mungkin tidak ada yang tidak sepakat bahwa manusia itu bergerak. Manusia tidak kenal diam. Gerak itu sendiri adalah suatu manifestasi penyempurnaan. Walaupun, sering kali manusia salah dalam mengidentifikasi kesempuvnaan. Maka, dia menganggap yang tidak sempurna sebagai sesuaiu yang sempurna.
Walhasil, tidak ada dua kepala yang berselisih, ihwal adanya gerak pada manusia. Dan, karena manusia adalah «abungan ruh dan jism (badan), maka geraknya pun ada yang bersifat ruhaniy (metafisik) dan ada yang bersifat jismany (fisik).
Ruh adalah kutub yang berkilauan cahaya dalam jiwa manusia. Sedang jism adalah kutub yang penuh kegelapan. Adapun nafs (jiwa) ialah zona netral yang dijadikan ajang tarik-menarik manusia. la adalah media yang bisa mengantarkan manusia menuju kepada Allah, tapi ia juga bisa nienjadi media untuk menggulung manusia dengan jilatan api jahanam.
Gerak ruhani, ialah gerak menuju Allah (liqa'ullah) atau mendekat kepada-Nya (taqarrub). Perlu diingat bahwa gerak ruhani dan jismani itu tentu berbeda. Perbedaan itu antara lain karena keduanya terjadi di "alam" yang berbeda dengan hukum-hukum yang berbeda. Namun, bagaimanapun juga, ada pei'samaan antara keduanya.
Sebagai contoh, keduanya sama-sama butuh kepada penggerak, obyek gerak. tiaclanya penghalang, dst. Tengoklah kepada gerak pintu. Pada peristiwa itu, ada beberapa hal yang mesti terjadi. Antara lain adanya pintu (1), adanya tangan yang menggerakkan (2), sentuhan antara tangan dan pintu (3), tiadanya batu yang melintang atau mermtang (4), dll.
Gerak ruhanipun demikian juga, meski unsur yang terlibat jauh lebih banyak dan kompleks. Gerak ruhani butuh kepada jiwa (nafs) sebagai tempat gerak (1), fitrah sebagai penggerak (2), akal sebagai "bahan utama" gerak (3), terkuasamya hawa nafsu dan setan (4), dll. Masing-masing bagian ini merupakan suatu bidang studi yang sangat panjang. Namun, ada baiknya kalau saya, semampunya. menganalisis bagian-bagian di atas.
Jiwa manusia adalah tempat gerak ruhani. Jiwa adalah media insani menuju kepada Nur Ilahi, bila yang menggerakkannya adalah fitrah yang suci dengan bahan akal sejati. Tetapi, jika penggeraknya adalah hawa nafsu yang berbahan sifat-sifat syaithany, maka jiwa akan menjadi skateboard yang meluncurkan manusia ke lubang neraka.
Di dalam jiwa, terpatrilah juga fitrah. la selalu menggerakkan manusia kepada Allah dan seluruh kebaikan. la mengendarai jiwa manusia dengan bahan akal menuju kepada Allah.
Akal adalah bahan jiwa menuju Allah. la membakarjiwa manusia dengan api yang sangat panas. la "memaksa" manusia bergerak menuju Allah Dalam sebuah riwayat, yang juga termuat dalam buku ini, disebutkan bahwa akal mempunyai 75 bala tentara. Dari masing-masingnya akal mendapat bantuan. Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa akal adalah suatu kemampuan yang luar biasa dahsyatnya.
Akan tetapi, bila hawa nafsu mampu menguasai akal dan memaksakan pelbagai kehendaknya atas akal, maka la akan menjadi bahan api neraka. Hawa nafsu akan menggunakannya untuk mencerap seluruh sifat setan, bahkan mungkin lebih jauh dari itu.
Dalam "perang" yang terjadi dalam jiwa manusia itu, barangkali hawa nafsu adalah kerajaan yang paling luas wilayahnya dan dominan kekuatannya. Tak diragukan lagi, bahwa hawa nafsu adalah faktor yang penting sekali dalam jiwa manusia. la selalu bertempur dengan akal untuk memperebutkan jiwa secara utuh.
Di samping itu, hawa nafsu juga memiliki peran yang sangat positif dan konstruktif bagi kehidupan manusia. Tanpanya, spesies manusia akan punah. Dengannya, manusia bisa melejit ke haribaan Ilahi mengungguli segala makhluk lainnya. Itu semua, bila akal yang menjadi sopir jiwa. Tetapi, sebaliknya, bila hawa nafsu sudah memegang kendali jiwa, maka semuanya akan berbalik. Manusia akan menjadi lebih keji dan sesat dari segala macam setan. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengenali hawa nafsu ini dengan baik dan sempurna.
Untuk dapat sedikit mengenali buku ini, dan yang serupa dengannya, saya ada suatu permisalan yang kiranya baik untuk kita simak bersama.
Pada suatu pertandingan sepak bola, Anda bisa mendapatkan komentar dari berbagai kalangan.
Dari para penonton, pengamat, pemain dan pelatih.
Dari para penonton, mungkin sekali Anda hanya akan mendengar teriakan. Baik itu teriakan kemenangan atau teriakan kekalahan.
Pengamat, kemungkinan besar akan memberi komentar yang agak lebih jelas. Pengamat mungkin mempunyai pendapat yang sama dengan si pemain atau pelatih. Tetapi, pengamat adalah tetap pengamat. Dia tetap tidak akan tahu yang terjadi sebenarnya. Sebab, dia hanya melihat pertandingan dari kejauhan. Pengamat, betapapun mahir dan pandainya, tetap second hand.
Sedang pemain adalah first hand. Dia mengetahui apa yang terjadi karena dia bermain dan bertandmg di lapangan. Dengan kata lain, pengetahuannya sudah diterapkan dan menjadi suatu pengalaman dan penghayatan. Dia benar-benar involued. Lain halnya dari semua itu ialah komentar yang diberikan oleh pelatih.
Pelatih adalah orang yang niscaya lebih "menguasai" lapangan ketimbang pemain, apalagi pengamat. Dia adalah orang yang sudah pasti menguasai geografi lapangan, teknik permainan, psikologi para pemain, lawan, dan tidak jarang, psikologi para penonton. Karena tanpa semua itu, dia tidak akan jadi pelatih yang sebenarnya. Begitulah kira-kira yang terjadi dalam suatu pertandingan sepak bola.
Dengan beberapa perbedaan, pergumulan dalam jiwa manusia pun demikian. Nah, buku yang di hadapan Anda ini, menurut hemat saya, adalah buku yang ditulis oleh seorang pemain yang taat pada instruksi pelatih. Dan pelatih yang kita maksud adalah para Nabi dan ma'shumin (orang-orang suci). Buku ini penuh dengan wacana para Nabi dan Imam yang suci. Mereka adalah pelatih yang hakiki bagi seorang yang ingin bermain di lapangan untuk menuju kepada Allah.
Secara pribadi, sekali dua kali saya pernah melihat penulis buku ini. Bahkan, bersama teman-teman yang lain, saya juga pernah menerjemahkan karya beliau yang berjudul Muatan Cinta Ilahi dalam Doa-doa Ahhd Bayt (diterbitkan oleh Pustaka Hidayah maret 1994). Dari pengalaman yang itu dan yang ini, saya mendapati bahwa penulis memang cukup menguasai warisan intelektual Ahlul Bayt -untuk tidak menyebutnya tekstual-.
Buku ini memang bukan benar-benar "buku". la adalah kumpulan ceramah Syaikh Muhammad Mahdi Al-Ashify. Karena itulah, pembaca akan sering melihat adanya loncatan dalam pembahasan-pembahasan beliau. Begitupun juga, "buku" ini sangat layak terbit (publishable).
Akhirul kalam, kami memohon ampunan kepada Allah atas segala kesalahan dan kekeliruan yang mungkin luput dari jangkauan pikiran kami. Dan kepada-Nya pula kami berharap Anda sekalian dapat mengambil sebaik-baik manfaat dari buku ini. Wabillahi Taufiq Wal Hidayah War Ridha Wal 'lnayah.
Musa Husein Al-Habsyi [2]
Medio Juni 1997
BAGIAN PERTAMA
Hawa Nafsu dalam Alquran dan Hadis
HADIS
Diriwayatkan dari Imam Al-Baqir bahwa Rasulullah SAWW bersabda, Allah SWT berfirman: "Demi kemuliaan-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku, keperkasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian tempat-Ku, tak seorang hambapun yang mengutamakan keinginannya (nafsunya) di atas keinginan-Ku, melainkan Aku kacaukan urusannya, Aku kaburkan dunianya dan Aku sibukkan hatinya dengan dunia serta tidak Aku berikan diinia kecuali yang telah kutakar untuknya.
Demi kemulian-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku, keperkasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian tempat-Ku, tak seorang hambapun yang mengutamakan keinginan-Ku di atas keinginan (nafsu) dirinya melainkan Aku suruh malaikat untuk menjaganya, langit dan bumi menjamin rezekinya dan menguntungkan setiap perdagangan yang dilakukannya serta dunia akan datang dan selalu berpihak kepadanya".[3]
Hadis qudsi cliatas amat populer dan terdapat dalam beberapa kitab dari golongan Sunnah dan Syi'ah. Saya juga meriwayatkan hadis tersebut melalui beberapa jalur. Sebagiannya darinya saya anggap sahih. Saya mencoba menelaah hadis yang berharga ini pada tiga bagian:
Pertama, seputar definisi hawa nafsu (al-hawa), bagian-bagian aksidentalnya, metode terapi dan "penjinaan"-nya. Bagian ini dianggap sebagai pengantar kajian hadis tersebut. (Bagian ini kami bagi menjadi tiga bagian menjadi I. Hawa Nafsu clalam Al-Quran dan Hadis, II. Tugas Akal dalam Mengendalikan Hawa Nafsu, III. Telaah Kritis Bala Tentara Akal dan Kejahilan pen.)
Kedua, seputar orang yang mengutamakan hawa nafsunya atas perintah Allah. (Bagian ini kami bagi menjadi tiga bagian, menjadi : IV. Orang yang Mengutamakan Hawa Nafsunya, V. Perbandingan Dunia dan Akhirat, VI. Telaah Anali-tik tentang Dunia dan Akhirat pen.)
Ketiga, seputar orang yang mengutamakan keinginan Allah atas keinginan dirinya. (Bagian ini menjadi bagian ketujuh yaitu VII. Orang yang Mengutamakan Keinginan Allah.
Terminologi Hawa Nafsu dalam Alquran dan Sunnah
Hawa nafsu adalah istilah keislaman yang digunakan dalam Alquran dan Sunnah. la menjadi istilah dengan arti khas budaya keislaman. Sering kita menemukan kata hawa nafsu dalam Alquran dan Sunnah. Antara lain, Allah SWT berfirman: "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?" (Q.S. Al-Furqon 43.)
Dan firman Allah SWT: "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)."(Q.S. An-Nazia'at 40- 41.)
Amirul Mukminm Ali as dalam Nahjul Balaghahnya berkata: "Sesungguhnya yang paling aku kuatirkan pada kalian adalah dua hal, yaitu taat hawa nafsu dan angan-angan panjang."
Diriwayatkan melalui Imam Shâdiq bahwa Rasulullah SAWW bersabda: "Waspadalah terhadap hawa uafsu kalian sebagaimana kamu sekalian waspada terhadap musuh. Tiada yang lebih pantang bagi manusia daripada mengikuti hawa, nafsu dan ketergelinciran lidah yang tak bertulang."[4]
Imam Shâdiq as juga berkata: "Janganlah kalian biarkan jiwa bersanding bersama hawa nafsu. Karena, hawa nafsu pasti (meinbawa) kehinaan bagi jiwamu.”[5]
Enam Sumber dalam Jiwa Manusia
Untuk mengenal posisi hawa nafsu dalam jiwa dan perannya dalam kehidupan manusia, saya perlu menegaskan bahwa Allah SWT telah memasang beberapa sumber gerak dan kesadaran manusia. Semua gerak -aktif ataupun reaktif- dan kesadaran manusia bermuara dari sumber-sumber ini. Tercatat ada enam sumber penting, yang terutamanya adalah hawa nafsu, sebagai berikut.
1. Fithrah, yang telah dilengkapi Allah dengan kecenderungan. hasrat dan gaya tarik menuju dan mengenal-Nya dan meraih keutamaan-keutamaan akhlak, seperti kesetiaan, 'iffah (harga diri), belas kasih dan murah hati.
2. 'Aql, adalah titik pembeda manusia.
3.    Irâdah, adalah pusat keputusan dan yang menjamin kebebasan manusia (dalam mengambil keputusan) dan kemerdekaannya.
4.    Dhamir, yang berfungsi sebagai mahkamah dalam jiwa.  la  bertugas  mengadili,  mengecam  dan  melakukan penekanan  terhadap  manusia demi  menyeimbangkan prilakunya.
5.    Qalb, fuad dan shadr, merupakan jendela lain bagi kesadaran  dan pengetahuan,  sebagaimana  kita pahami melalui ayat-ayat Alquran, yang dapat  menerima atau menampung pencerahan Ilahi.
6.    Al-hawa, adalah kumpulan berbagai nafsu dan keinginan dalam jiwa manvisia yang menuntut pemenuhan secara intensif. Bila tuntutannya terpenuhi, iadapat memberi manusia kenikmatan tersendiri.
Inilah keenam sumber penting bagi gerak dan kesadaran jiwa manusia yang telah diberikan oleh Allah.
Dalam kesempatan ini, rasanya tidak tepat jika saya membahas sumber-sumber tersebut atau membentuk gambaran dan simpulan ilmiah melalui nash-nash keislaman. Karena, bidang psikologi keislaman ini memerlukan kajian, observasi dan penalaran yang mendalam. Semoga Allah memudahkan bagi mereka yang menelitinya melalui teks-teks keislaman. Bidang ini tergolong subur dan "perawan" (tak tergarap). Kesuburan dan "keperawanan" salah satu dari lahan-lahan budaya keislaman ini mestinya merangsang para ilmuwan dan peneliti untuk menggarapnya.
Tugas saya dalam kajian kali mi, hanya terbatas pada masalah definisi serta peran hawa nafsu dalam kehidupan manusia. Di samping itu. saya akan membahas keistimewaan, dampak, tujuan dan sarana-sarana pengekangannya serta beberapa masalah lain yang berkaitan.
Bersamaan dengan itu, dalam mengkaji hawa nafsu saya akan beberkan hadis-hadis yang berhubungan dengan "sumber-sumber" lain jiwa yang ikut andil dalam pergerakan dan kesadaran manusia. Penggunaan istilah hawa nafsu dalam kebudayaan Islami mangacu pada gabungan beberapa naluri yang bersemayam dalam jiwa, sedangkan manusia sebagai penyandangnya selalu dituntut agar memenuhi hasratnya. Berbagai naluri syahwati itu membentuk bagian terpenting dan berperan luar biasa dalam kepribadian manusia. la adalah faktoi- utama dalam menggerakkan dan mengatur diri manusia. Bahkan sebagai kunci yang paling efektif untuk mengatur aksi dan reaksinya.
Kekhasan-kekhasan Hawa Nafsu
Untuk lebih mengenal peran positif dan negatif hawa nafsu dalam membangun dan meruntuhkan kehidupan manusia, maka semestinya kita terlebih dahulu mengetahui watak-watak terpenting hawa nafsu. Dalam uraian berikut ini akan saya paparkan watak-watak terpenting hawa nafsu melalui teks-teks keislaman.
1. Watak Ekspansif Hawa Nafsu
Termasuk paling menonjolnya ciri hawa nafsu adalah tuntutannya yang cenderung ekspansif atau meluas. Hawa-nafsu manusia memiliki derajat pemuasan yang berbeda-beda yang, pada gilirannya, memiliki tuntutan yang berbeda-beda pula. Sebagian syahwat ada yang tuntutan dan permintaannya bersifat mutlak, sehingga pemuasannya pun tak dimungkinkan. Namun ada sebagian lain yang pemuasannya dimungkinkan setelah sekian ekspansi dilakukan. Secara keseluruhan, hawa nafsu memiliki sifat ekspansif yang sukar terpuaskan dalam batas-batas yang masuk akal.
Dalam kaitannya dengan sifat di atas, Rasul SAWW bersabda: "Sekiranya anak Adam meinpunyai sebuah lembah emas, niscaya dia akan meminta tambah satu lagi. Sekiranya dia telah mempunyai dua lembah emas, niscaya dia akan meminta lagi (lembah yang ketiga). Tidak akan puas kantong mulut seseorang, kecuali jika sudah penuh dengan tanah”.[6]
Dalam redaksi yang agak berbeda Nabi SAWW bersabda: "Sekiranya anak cucu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya dia masih berhasrat pada lembah yang ketiga".[7]
Diriwayatkan dari Hamzah bin Humran cerita demikian: "Seorang mengeluh pada Abi Abdillah as (Imam Ja'far Ash-Shâdiq) tentang permohonannya yang selalu terkabul, tapi dia tak pernah terpuaskan. Kepada Imam dia merengek sembari berkata: "Ajarilah aku sesuatu yang berguna bagi diriku."
Abu Abdillah berkata: "Jika sesuatu yang mencukupimu itu memuaskanmu, maka yang paling remeh dari dunia akau memuaskanmu. Jika sesuatu yang mencukupimu itu tidak memuaskanmu, maka segala apa yang ada di dunia tidak akan pernah memuaskanmu.”[8]
Amir Al-Mukminin Ali as berkata: "Wahai anak Adam! Jika kamu ingin sesuatu yang mencukupimu dari dunia, maka sesungguhnya yang paling kecil (sedikit) darinya akan mencukupimu. Sebaliknya, jika kamu ingin sesuatu yang tidak akan mencukupimu (atau sesuatu yang memuaskanmu, peny.), maka segala apa yang terdapat di dalamnya tidak akan mencukupimu".[9]
Kalimat "mutlak tidak terpuaskannya hawa nafsu" dalam riwayat-riwayat di atas tidaklah hakiki. la hanya bermakna bahwa hawa nafsu memiliki sifat ekspansif yang berlebihan dan tidak mengenal batas.
Di usia senja, ada sebagian nafsu yang menurun, sementara ada sebagian lain yangjustru menunjukkan kerakusannya.[10]
2. Daya Gerak dan Desak yang Dahsyat pada Hawa Nafsu
Hawa-nafsu adalah faktor terkuat yang menggerakkan manusia. Buktinya adalah sejarah peradaban-peradaban Jahiliah yang telah mencakup bagian terbesar sejarah dan geografi bumi.
Bila kita mengesampingkan peran marginal fitrah, dhamir dan akal dalam membentuk peradaban Jahiliah, maka hawa nafsu adalah faktor paling menentukan bangunan peradaban-peradaban tersebut. Baik dalam suasana perang atau damamya, dalam aspek ekonomis, pengetahuan dan kriminalnya, hawa nafsu tetap menduduki posisi paling sentral di dalamnya.
Dinwayatkan bahwa Zaid bin Shauhan bertanya kepada Amiril Mukminin Ali as, gerangan penguasa manakah yang paling digdaya? Imam Ali as menjawab: hawa nafsn.[11]
Dengan ungkapan yang luar biasa indah, Alquran bercerita tentang istri Al-Aziz (raja Mesir) dan menunjukkan betapa kuatnya peranan hawa nafsu dalam kehidupan manusia.
Allab berfirman dalam surah Yusuf, "... karena sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh TuhanKu". (QS.Yusuf 53.)
Amiril Mukminin Ali as berkata: "Dosa-dosa (syahwat) tak ubahnya kuda liar yang terlepas kendalinya, ia akan dengan kencang melarikan pengendaranya ke neraka. Ketahuilah, sesungguhnya taqwa ialah kendaraan yang patuh. Pengendaranya dengan santai dapat memegang kendali dan ia akan membawanya masuk ke surga."[12]
Asy-Syumus (kalimat yang dipakai Imam Ali) adalah bentuk jamak dari Syamus yang berarti kuda yang tidak mau dinaiki punggungnya dan dikendalikan tali kekangnya. Dengan kata lain, pengendara tidak bisa memegang dan memamkan tali kekang kudanya sama sekali. Kuda seperti itu akan membawa pemiliknya ke mana saja tanpa menentu. Demikianlah halnya hawa nafsu clan syahwat yang membawa pelakunya sehingga ia tidak bisa menguasainya dan tidak mampu mengarahkannya. Sebaliknya taqwa. la selalu membantu manusia menguasai hawa nafsu, membimbing dan mengarahkan jiwa menuju surga.
3. Tuntutan Hawa Nafsu akan Berlipat-ganda jika Dipuaskan
Sifat hawa nafsu[13] yang ketiga ialah selalu lebih menuntut dan memaksa, setiap kali manusia mengabulkannya. Sifat mi bertolak-belakang dengan sifat tuntutan-tuntutan yang lam yang melemah dengan terkabulnya tuntutan, hingga akhirnya mendekati kepuasan.
Pelipat-gandaan tuntutan dan desakan hawa nafsu berbanding-lurus dengan pemenuhan yang dilakukan manusia. Dalam pada itu, sebagai konsekuensi logisnya, kontrol manusia terhadap hawa nafsu berkurang. Demikian juga sebaliknya, setiap-kali manusia mengekang tuntutan hawa nafsunya dengan tali akal, maka tuntutannya semakin berkurang dan kemampuan manusia untuk menguasainya semakin bertambah.
Syahwat bagaikan api. Semakin ditiup, semakin membara dan membahayakan.
Pemenuhan yang terkontrol di bawah syariat adalah lebih "memuaskan" nafsu manusia ketimbang pemenuhan secara mutlak yang tak terbatasi.
Dalam beberapa nash keislaman telah disebutkan dua bentuk pemenuhan ini:
1. Pemenuhan tuntutan hawa nafsu secara mutlak yang akan menambah gairah dan paksaan tuntutannya. Sebaliknya, bila pemenuhan tuntutannya dibatasi ketentuan-ketentuan syariat, maka akan cepat merasa puas dan cukup.
Imam Ali as berkata: "Menolak syahwat berarti memuaskannya, sedang memenuhinya akan menguatkannya."[14]
Maksud "menolak syahwat" adalah memenuhi tuntutannya dengan cara yang terkendali. Aclapun maksud kalimat "memenuhinya" ialah memenuhi tuntutannya dengan tanpa batas dan kendali.
2.  Memenuhi tuntutan (hawa nafsu) secara mutlak menyebabkan kelemahan sistem kontrol manusia terhadap hawa nafsu, sehingga seluruh kehendak dan kemampuannya terbelenggu. Pada akhirnya, dia menjadi budak nafsunya.
Sebaliknya, memenuhi tuntutan hawa nafsu secara terbatas atau terkendali lebih mendukung manusia untuk menguasai dan menundukkan hawa nafsu dan syahwat.
Dan Imam Al-Bâqir as berkata: "Orang yang rakus terhadap dunia bagaikan ulat sutera. Kian bertambah banyak siuteranya, kian jauh kemungkinannya untuk bisa keluar dari sarangnya.  Sampai akhirnya dia  mati (terjerat suteranya sendiri)."[15]
Penguasaan Akal terhadap Hawa Nafsu
Meski kekuasaan hawa nafsu sangat efektif, tapi akal manusia mampu memanajemeni dan mengarahkannya dengan cara memperkuat posisi dan perannya dalam jiwa manusia.
Jika suatu saat peranan akal melemah dan hawa nafsu lolos daii genggamannya, maka ia mesti tetap menempati posisi yang memerintah dan melarang, menghukum dan menolak. Sedangkan hawa nafsu hanya bisa membuat kebingungan dan membangkitkan waswas dalam jiwa.
Imam Ali as berkata: "Jiwa adalah tempat bisikan-bisikan hawa nafsu. Sedangkan akal berperan untuk menolak dan meredainnya."[16]
Imam Ali as berkata: "Di dalam hati ada hasutan-hasutan jahat, dan akal (berupaya) menyingkirkan mereka."[17]
Maksud dari kedua hadis tersebut ialah bahwa hawa nafsu bersemayam dalam jiwa manusia hanya untuk menimbulkan bisikan-bisikan jelek. Sebaliknya, akal tampil sebagai penguasa yang berhak menghukumi, menolak dan mencegah.
Imam Ali as berkata: "Akal yang sempurna adalah akal yang mampu mengusir tabiat jelek (dalam jiwa)."[18]
Maksudnya, meski tabiat dan akhlak manusia telah diperdayai oleh hawa nafsu, tapi akal masih tetap dalam posisi yang kokoh dan mempunyai kekuasaan yang prima untuk menekan tabiat yang sudah terpengaruh kejelekan itu. Hal ini akan menjadi realita jika akal itu sempurna dan lurus. Yang demikian ini merupakan landasan yang sangat mantap dalam metode pendidikan Islam yang Insya Allah akan saya bahas secara terinci dalam bagian mendatang.
Manusia adalah Gabungan Akal dan Hawa Nafsu
Dari pembahasan yang telah lalu ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa meskipun hawa nafsu mempunyai daya yang sangat kuat dan berpevan aktif serta efektif dalam kehidupan manusia, tapi kehendaknya untuk menyempurnakan, mematangkan dan menonjolkan peran akal tidak pernah terampas. Hal itu disebabkan oleh karena manusia terdiri dari akal dan hawa nafsu.
Manusia selalu berada dalam tarik-menarik keclua faktor ini. Fluktuasi keduanya berakibat langsung pada manusia. Semuanya, sebenarnya, bergantung pada manusianya sendin dalam sejauh mana mengfungsikan atau medisfungsikan akal dalam kehidupannya.
Manusia berbeda sekali dengan binatang. Binatang tidak mempunyai akal yang bisa mengatur dunianya; langkah-langkahnya secara total dikemudikan oleh hawa nafsu. la sepenuhnya tunduk padanya dan sikapnya termanifestasi melalui faktor hawa nafsu saja.
Imam Ali as berkata: "Allah menganugerahkan akal yang tak berunsur syahwat kepada inalaikat, syahwat tanpa unsur akal pada binatang, dan keduanya (akal dau syahwat) kepada anak cucu Adam. Karenanya, siapa yang akalnya bisa mengalahkan syahwatnya, maka dia lebih baik daripada malaikat dan siapa yang syahwatnya mengalahkan akalnya, maka dia lebih buruk daripada binatang."[19]
"Pelembutan" Hawa Nafsu
Di antara tema yang menonjol dalam psikologi keislaman adalah pelembutan dan penghalusan hawa nafsu, syahwat dan naluri. Karena watak kesemuanya itu bisa melembut dan mengeras.
Di saat lembut, akallah yang menjadi hakim dan sempurnalah kemanusiaan seseorang. Di saat keras, hawa nafsulah yang menjadi hakim dan sempurnalah kebinatangan manusia. Dalam kedua kondisi tersebut, manusia sendirilah yang menentukan segalanya. Semakin sering seorang menuruti hawa nafsunya, semakin mengeras dan, akhirnya, semakin dominan ia. Sebaliknya, jika seseorang selalu malakukan tekanan atas hawa nafsu, maka lambat-laun ia akan melemah dan, implikasinya, mudah menurut pada kontrol akal.
Semua manusia, bertaqwa atau tidak, sama-sama mempunyai hawa nafsu dan syahwat.
Bedanya, yang bertaqwa mampu -secara aktif- menguasai dan mengatur hawa nafsu dan syahwatnya, sedangkan orang yang tidak bevtaqwa -secara pasif- dikuasai dan diatur oleh syahwat dan hawa nafsunya. Pada kondisi manapun manusia tetap berikhtiar. Ikhtiar berati melakukan penekanan dan pelatihan atas hawa nafsu, atau malahan (menurut istilah Imam Ali as peny.) menuruti kehendaknya (dengan mengurangi tuntutannya). Dalam kajian selanjutnya, saya akan membahas kiat-kiat menguasai hawa nafsu, nash-nash keislaman yang menjelaskan dua keadaan (posisi) hawa nafsu -yang lemah dan yang keras -, teknik melemahkan hawa nafsu, dan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terkristalnya hawa nafsu.
Alquran menjelaskan:"... tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan kamu beuci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan..."(Q.S.Al-Hujurât :7).
Allah menanamkan rasa benci kepada kefasikan -yang diperebutkan para durja- dalam kalbu Mukmin dan ahli taqwa. Sebenarnya, siapakah yang membencikan orang-orang mukmin kepada kefasikan? Dan siapa pula yang membuat senang orang-orang fasik terhadap kefasikan?
Jawabnya, adalah Allah SWT Dia yang membencikan kefasikan kepada jiwa orang-orang Mukmin. Hati orang mukmin berada dalam genggaman dan kekuasaan Allah dan Allah senang kefasikan berada dalam jiwa orang fasik sebab orang fasik itu sendiri mencmtai kefasikan dan selalu mengikuti hawa nafsunya.
Rasulullah SAWW bersabda: "Rutin melakukan kebaikan berarti kebencian bagi kejelekan".[20]
Konsistensi dalam melakukan kebaikan akan membawa kebencian atas kejelekan. Kejelekan yang dimaksud ialah syahwat dan kelezatan yang selalu dicari dan dikejar-kejar manusia. Karena, syahwat dan kelezatan yang diharamkan itu selalu dikejar-kejar oleh para penyeleweng dan kaum fasik. Begitu pula sebaliknya. Kejelekan yang selalu dilakukan akan membaca kecintaan pada kejelekan itu. Dan yang demikian itu adalah wajar dan rasional.
Imam Amiril Mukminin Ali as dalam khotbahnya yang menerangkan ciri-ciri orang taqwa dan khotbah ini dikenal dengan Khotbah Hammâm, beliau berucap: " (Ahli tagwa) itu dekat angan-angannya, sedikit kesalahannya, khusyu’ hatinya, mudah terpuaskan, sederhana makanannya, ringan urusannya, kukuh agamanya, "mati" nafsuniya, dan tertahan emosinya."[21]
Sesungguhnya taqwa dapat melunakkan syahwat dan hawa nafsu seseorang. Dengan taqwa, jiwa yang serakah berubah menjadi qanâ’ah. Syahwat pun menjadi lemah-lembut seakan mati.
Nash di atas, dan yang semisalnya, tidak hendak menyatakan bahwa peran taqwa adalah pengekang syahwat dan hawa nafsu. Walau pengertian itu bisa dibenarkan, tapi maksud riwayat lebih jauh lagi. la ingin menekankan bahwa peranan taqwa itu juga untuk melemah-lembutkan hawa nafsu dan meringankan syahwat. Demikianlah riwayat-riwayat tersebut di atas saya pahami.
Selanjutnya saya akan nukilkan beberapa riwayat tanpa menyebut komentarnya.
Imam Ali as bersabda: "Semakin kokoh hikmah (seseorang), semakin lemah syahwatnya."[22]
Imam Ali as berkata: "Jika kemampuan kita (dalam menaklukkan hawa nafsu) bertambah, maka (tuntutan-tuntutan) hawa nafsu kita akan berkurang."[23]
Imam Ali as berkata: "'lffah (inenjaga diri) dapat melemahkan syahwat (hawa nafsu)."[24]
Imam Ali as berkata: "Siapa yang merindukan surga, akan melupalah syahwat.”[25]
Imam Ali as berkata: "Ingatlah bahwa setiap kelezatan akan hilang. Setiap kenikmatan akan berpindah. Dan setiap bencana pasti akan berakhir jua. Dengan begitu kita telah niengabadikan nikmat, meujernihkan syahwat, menghilangkan takabur, mendekatkan bahagia, melipur lara, dan menggapai cita-cita."[26]
Taqwa dan kontrol hawa nafsu ialah dua faktor yang (seharusnya) menguasai syahwat dan naluri manusia sampai sejauh mungkin. Sehingga hawa nafsu seiring dengan hukum Allah dan segala keinginannya sesuai dengan kehendak Allah SWT. Setelah itu, baru manusia dapat membenci dan lari dari segala yang dilarang Allah. Demikianlah manusia mencapai puncak interaksi dengan Tuhannya.
Perubahan jiwa yang menakjubkan ini sebenarnya telah dijelaskan oleh Allah dalam Alquran di surah Al-Hujurât ayat 7 yaitu:
"... tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan...".
Walhasil, keberadaan taqwa fase inilah yang sangat berpengaruh dalam jiwa manusia. Karena ia ticlak hanya mampu mencegah seseorang dari kefasikan, kekafiran dan kemaksiatan, namun juga menanamkan rasa benci terhadap hal-hal tersebut.
Peran Positif Hawa Nafsu dalam Kehidupan Manusia
Memperhatikan peran destruktif hawa nafsu bagi manusia -yang Insya Allah- akan saya bahas secara terpisah clalam kajian benkutnya, maka wajar kalau ada yang bertanya-tanya tentang faedah Allah menciptakan hawa nafsu? Atau apakah sesungguhnya nilai positif hawa nafsu manusia itu? Untuk jawaban yang memadai, perhatikan beberapa butir di bawah:
1. Hawa Nafsu ialah Agen dan Aktor Penggerak Terkuat pada Jiwa Manusia
Hawa nafsu mampu membentuk sulûk (prilaku) manusia. Oleh sebab itu, Allah SWT mengkaitkan banyak masalah penting kehidupan dengan hawa nafsu. Hawa nafsu menjamin terpenuhinya beragam kebutuhan primer manusia. Masalah reproduksi, misalnya. la merupakan bagian vital kehidupan manusia. Tanpa proses tersebut spesies manusia akan punah. Untuk kebutuhan vital seperti di atas, Allah menganugrahi manusia dengan hawa nafsu seksual yang merangsang perkawinan dan reproduksi sebagai jaminan kelangsungan dan kelestarian jenis manusia.
Allah SWT menggantungkan pertumbuhan manusia pada nafsu makan dan mmum. Tanpa keduanya, manusia tidak akan dapat menumbuhkan lagi sel-sel yang rusak oleh gerak dan keija manusia.
Allah SWT juga telah membekali manusia dengan naluri bermasyarakat yang melaluinya sistem kehidupan sosial dan madani manusia muncul.
Posesifitas atau rasa memiliki dijadikan sebagai motor kegiatan ekonomi. Tanpa insting atau naluri ingin memiliki ini akan hancur seluruh sistem ekonomi manusia.
Amarah Allah jadikan sebagai sumber bagi aktivitas mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) dan pertahanan terhadap kehormatan, harta dan keluarga. Jika amarah tidak ada pada manusia, maka permusuhan tidak akan ada dan nilai perdamaian pun akan sirna. Demikianlah, Allah SWT menjamin kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia yang primer dengan hawa nafsu.
2. Hawa Nafsu Sebagai Tangga Menuju Kesempurnaan
Hawa nafsu adalah tangga menuju kesempumaan, seperti itu juga ia dapat menjadi peluncur menuju kepada kekurangan. Berikut ini kita akan menjelaskan makna pernyataan di atas.
Berbeda dengan jenis perkembangan dan penyempurnaan pada benda padat, tetumbuhan dan binatang yang bersifat deterministik atau terpaksa, gerak penyempurnaan integral manusia menuju Allah berakar dari "irâdah".
Allah SWT memuliakan manusia dengan irâdah. Setiap langkah yang digerakkannya, berdasarkan irâdah dan ikhtiar. Meskipum kehendak Allah berlaku pada seluruh makhluk, namun manusia adalah makhluk yang melaksanakan kehendak Tuhan (hukum-hukum Tuhan) dengan irâdah dan ikhtiarnya sendiri.
Sebenarnya hudûd merupakan irâdah dan kehendak Allah SWT yang dilakukan manusia melalui ikhtiar dan irâdahnya, sebagaimana “hukum alam" juga merupakan keingi nan dan irâdah Allah yang dijalani makhluk lain secara terpaksa.
Dalam konteks inilah istilah khalîfatullâh[27] dalam Alquran mesti dipahami.
Sedangkan makhluk lain dalam istilah Akjuran disebut musakharât bi amrihi (mereka yang tunduk pada perintah-Nya).[28]
Kata khalîfah dan taskhîr (eksploitasi)) adalah dua kata yang mempunyai sisi persamaan dan sisi perbedaan. Persamaannya, keduanya bermakna menjalankan perintah Ilahi. Perbedaannya, khalîfah menjalankan berdasar ikhtiarnya sendiri, adapun yang Musakharât bi amrihi melaksanakan perintah tanpa ikhtiar dan irâdah atau secara deterministik dan terpaksa.
Disinilah letak rahasia nilai keagungan manusia. Seandainya ketaatan manusia kepada Allah tidak terjadi karena irâdah dan ikhtiar, niscaya dia tidak memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Dan karena itu pula Allah mengangkat manusia sebagai khalifah Allah SWT
Nilai perbuatan manusia berbanding-lurus dengan usaha yang dicurahkan dalam ketaatannya kepada perintah Allah. Karenanya, bertambah besar usaha dan susah-payah manusia dalam merealisasikan suatu ketaatan, bertambah pula nilai perbuatannya. Dari sisi lain, efektifitas perbuatan yang dilakukan dengan susah-payah itu lebih tinggi.
Jelas acla perbedaan yang mencolok antara nilai 'makan-minum' dan 'puasa' meski keduanya sama-sama melaksanakan perintah Allah. 'Makan-minum' dilakukan manusia tanpa susah-payah dan pengorbanan sedikitpun, karenanya nilainya pun tak berarti.
Apakah maksud susah-payah? Bagaimana ia bisa muncul? Mengapa derajatnya berbeda-beda?
Dalam peristilahan Islami, susah-payah itu disebut ibtilâ` (pencleritaan). Pendeiitaan ini selalu vis a vis hawa nafsu dan syahwat. Seandainya hawa nafsu dan naluri yang telah diletakkan oleh Allah dalam jiwa kita tidak ada, dan sekiranya ketaatan kepada Allah tidak dilaksanakan dengan menentang hawa nafsu, maka suatu perbuatan tidak akan mempunyai nilai dan tidak akan menjadi faktor pendorong dan pendekat manusia kepada Allah.
Perbedaan derajat penderitaan terjadi akibat perbedaan intensitas hawa nafsu dan syahwat. Jika hawa nafsu dan syahwat lebih menguat dan memaksa, maka penderitaan manusia dalam menahan, menentang dan menguasainya akan lebih besar. Selama perbuatan menuntut manusia untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menentang hawa nafsu dan syahwat, maka selama itu pula perbuatan akan lebih besar nilainya dalam tagarrub manusia kepada Allah, dan lebih agung pula pahala yang Allah berikan kepadanya kelak di surga.
Dengan demikian, jelaslah apa nilai hawa nafsu dalam menggerakkan manusia menuju Allah. Semua tagarrub mesti melewati hawa nafsu dan syahwat yang berada dalam jiwa.
Nilai bipolar (berkutub ganda) hawa nafsu -sebagai tangga kesempurnaan dan juga sebagai peluncur kesesatan- ini merupakan salah satu pemikiran keislaman yang amat unik. Di bawah ini ada beberapa nash keislaman berkenaan dengan bipolaritas hawa nafsu:
1. Dari Abi Al-Bujair - sahabat Nabi SAWW - berkata, suatu han Nabi SAWW merasa lapar, lalu beliau meletakkan sepotong kerikil di perutnya dan mengatakan: "Ketahuilah! Berapa banyak orang yang kenyang perutnya dan rapi pakaiannya di dunia, tapi dia akan kelaparan dan telanjang di akhirat. Berapa banyak orang yang memuliakan nafsunya, padahal dia menghmakan dirinya. Berapa banyak orang yang menghmakan nafsunya, padahal dia memuliakan dirinya. Berapa banyak orang yang tenggelam menikmati sesuatu yang telah dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya, namun dia di sisi Allah tidak mendapat bagian apapun. "Ketahuilah bahwa 'kinerja surgawi' bagai bukit-bukit terjal yang bertebing cadas dan kinerja neraka bagai jalan mulus yang mudah dilalui nafsu. Berapa banyak nafsu yang sekejap (di dunia), justru mengakibatkan sengsara yang berkepanjangan (di akhirat). "[29]
Nash di atas mengandung banyak renungan yang luar biasa. Banyak orang yang berperut kenyang, berdandan rapi, selalu memenuhi hawa nafsu clan memperoleh kelezatan tanpa pernah merasakan puas apalagi bersikap wara'... Sosok jiwa ini akan hadir di hari kiamat dalam keadaan lapar dan telanjang.
Sekian banyak orang yang seakan memuliakan hawa nafsunya dengan cara memenuhi setiap ajakannya. Padahal, dengan begitu, dia hanya akan merendahkan jiwanya sendiri. Sebaliknya banyak juga orang yang bersikap keras, sinis dan acuh tak acuh akan tuntutan hawa nafsunya, padahal begitulah cara yang sebenarnya untuk raemuliakan diri manusia.
Sungguh tidak sedikit manusia yang sengsara di akhirat akibat berfoya-foya dengan kelezatan hawa nafsu clan syahwatnya di dunia.
Ada sebuah riwayat yang demikian bunyinya: "Ketahuilah bahwa jalan yang mengantarkan manusia menuju surga bagai jalan terjal dau bertebing."
Kata al-haznah artinya ialah tanah keras yang penuh bebatuan. Perbuatan surgawi mesti melalui bukit yang tinggi nan terjal. Sedang perbuatan neraka hanya bagai berjalan di atas tanah yang mulus dengan "peluncur" nafsu, kesenangan dan kelezatan.
Demikianlah, orang yang berjalan di atas tanah yang keras, terjal dan menaiki tebing-tebing yang bebatuan, seakan dia melawan gravitasi. Sedangkan orang yang berjalan di tanah yang mulus, seakan dia berserah-diri pada gravitasi. Inilah perbedaan antara "kinerja surgawi" dan "kinerja neraka" serta antara ketaatan dan kemaksiatan.
2. Imam Ali as pernah menukil sabda Rasulullah SAWW yang demikian bunyinya: "Sesungguhnya (jalan ke surga) penuh dengan kesusahan, sedang (jalan ke) neraka penuh dengan nafsu (Baca : kemudahan). Camkanlah! Ketaatan kepada Allah dilakukan dengan kesusahan. Sedang kemaksiatan hepada Allah dilakukan dengan nafsu. Semoga Allah merahmati orang yang menjauhkan jiwanya dari rayuan syahwatnya dan orang yang mengalahkan hawa nafsunya. Sesunggnhnya syahwat hendaknya ditarik sejauh mungkin (dari jiwa). Syahwat senantiasa rindu kepada kemaksiatan yang dilakukan dengan nafsu."[30]
Nash ini mengungkap kesimpulan yang sama dengan teks-teks keislaman lainnya. Surga adalah terminal akhir gerak askendensial (menaik) manusia menuju Allah, sedang neraka adalah terminal akhir gerak deskendensial (menurun) manusia menuju kehancuran.
Tujuan yang pertama itu diliputi berbagai derita dan rintangan. Berbagai clerita dan rintangan itu terjadi akibat dari upaya jiwa menentang dan menolak ajakan hawa nafsu. Adapun tujuan yang keduanya penuh clengan kesenangan yang mudah menggelincirkan seorang ke jurang hawa nafsu.
Melalui sabda Nabi SAWW di atas, Imam Ali as menciptakan suatu landasan umum yaitu, tiada ketaatan yang diperoleh seorang kecuali dengan ketidaksukaan. Dan tiada kemaksiatan yang dilakukan seorang kecuali dengan kesenangan (nafsul.
Setelah uraian ini, tidak sulit bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa mengapa jalan menuju kesempurnaan. pertumbuhan dan gerakan menuju Allah harus melintasi hawa nafsu. Dan hanya melalui hawa nafsu ini manusia clapat naik menuju Allah SWT Sekiranya tak ada hawa nafsu yang telah diciptakan-Nya, niscaya tak ada pula jalan yang mengantarkan manusia mendaki ke puncak ilahi.
3. Pergumulan Internal Jiwa Manusia
Hawa nafsu ialah potensi yang disimpan Allah pacla diri setiap manusia. Manusia akan mengeluarkannya (mengaktualisasikannya) bila dibutuhkan. Seperti juga Allah telah meletakkan berbagai energi dalam perut bumi untuk bahan makanan, pakaian dan beragam prasarana kehidupan lainnya. Begitu pula dengan "suplai" air dan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.
Berbagai potensi yang diberikan Allah itu antara lain, pengetahuan. kebulatan tekad, keyakinan, kesetiaan, keberanian, ketulusan, 'iffah (menjaga harga-diri), disiplin, bashîrah (visi), kreativitas, kesabaran, penolakan, penghambaan ('ubûdiyyah) serta penegasan. Kemampuan-kemampuan ini ada dalam hawa nafsu manusia secava potensial.
Hawa-nafsu dan kemampuan instingtif lainnya adalah tahap kebinatangan manusia. Namun, berbeda dari semua binatang yang lain, Allah telah memberinya kemampuan untuk mengendalikan dan menghambat serta membatasi naluri-naluri ini dengan irâdah. Dan dengan begitu, kebinalan naluriah manusia dapat diubah menjadi keutamaan-keutamaan ruhani, maknawi, dan akhlaki seperti bashîrah, yaqîn, azam, keberanian dan ketaqwaan.
Bagaimana prosesnya naluri-naluri yang buas dan binal itu bisa berubah karena adanya "pencegahan" dan "taqwa" sehingga menjadi nilai-nilai yang tinggi dalam diri manusia? Aksi-reaksi apakah yang bisa mentrasformasikan naluri-naluri yang binal ini menjadi pengetahuan, keyakinan, kesabaran dan bashîrah?
Sungguh menyesal penulis untuk mengatakan "tidak tahu!". Pintu makrifat yang lebar ini masih tertutup bagi penulis. Sampai kini, belum ada psikolog modern maupun pakar studi-studi keislaman yang bersedia membuka pintu makrifat tersebut. Meskipun demikian, kalau kita menengok din kita sendiri, maka akan kita temukan isyarat-isyarat yang jelas akan terjadinya pergumulan dan interaksi besar dalam jiwa manusia.
Rasa malu, misalnya, bukan hanya sebab bagi tertekannya naluri seksual, tapi ia juga merupakan efek dari peristiwa pencegahan dan penekanan terhadap naluri lainnya. Begitu manusia membatasi seksualitasnya, dia memperoleh rasa malu terhadap praktik seksual yang bertentangan dengan akhlak, adab, estetika dan dzauq (cita-rasa Ilahi).
Adab yang saya maksud bukanlah tata-cara bergaul di tempat tidur, melainkan sesuatu lebih tinggi. Adab dan dzaug yang menjadi lambang supremasi manusia adalah efek dari pengekangan dan ketaqwaan yang dilakukan manusia di bidang naluriah.
Jika kita kembali pada Alquran, maka pasti kita temukan adanya beberapa isyarat yang jelas tentang adanya interaksi internal manusia.
Allah SWT berfirman:"... Dan bertagwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu..." (Q.S. Baqarah : 282)
Mungkinkah klausa wayu'allimukumullâh di-athaf-kan atau dikonjungsikan dengan wattagullâh, padahal keduanya tidak berhubungan? Ataukah kedua klausa ini merupakan setali tiga uang?
Mereka yang akrab dengan gaya-ungkap Alquran, tidak akan meragukan lagi bahwa dua klausa itu merupakan dua sudut dari sesuatu yang sama (dalam matematika disebut ekuilateral, peny.). Ilmu (dalam ayat ini) adalah efek ketaqwaan kepada Allah SWT Ilmu seperti ini tidak diperoleh dengan belajar. la adalah nur yang dipancarkan Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki.
Alquran dalam surah Al-Hadîd ayat 28, menyebut "nur" ini: "Hai orang-orang yang beriman (kepada rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan rahmat-Nya kepadamu dua kali lipat, dan menjadikan untukmu (nur) "cahaya" yang dengannya kamu dapat berjalan..."
Nur, dalam ayat ini, tak lain adalah ilmu dalam ayat sebelumnya. Ilmu dan taqwa yang ada dalam surah Al-Hadîd ayat 28 dan surah Al-Baqarah ayat 282 bersifat korelatif. Taqwa ialah realitas pengekangan naluri itu sendiri. Pengekangan ini bisa merubah naluri dan hawa nafsu menjadi nuv, ilmu dan bashîrah.
Dalam cerita Nabi Yûsuf as yang terdapat dalam surah Yûsuf 22, Allah berfirman: "Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Dengaji demikian Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
Dan kita temukan kandungan ayat yang bermiripan dalam cerita Nabi Musa yang terdapat dalam surah Al-Qashas ayat 14: "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
Mengapa Allah mengistimewakan anugrah ini kepada Musa bin Imran as dan Yusuf as dan tidak selainnya? Apakah hikmah dan ilmu ini hanya diperuntukkan pada hamba-Nya yang tertentu dan bukan pada sembarang orang tanpa alasan? Apakah semua itu termasuk dalam sunnah Ilahiyah (keniscayaan Ilahi)?
Sungguh seorang yang akrab dengan bahasa Alquran walaupun sesaat saja tidak akan gamang akan hubungan hikmah dan ilmu dalam dua surah tersebut dengan al-Ihsân pada klausa "wakadzâlika najzilmuhsinîn'. Ketika Allah menghubungkan ilmu dan hikmah yang telah diperoleh Musa as dan Yûsuf as dari Allah SWT dengan "Al-Ihsân" itu berarti - sesuai dengan sunnatullah - bahwa ihsan atau kebaikan manusia adalah penyebab datangnya rahmat Allah dan turunnya hikmah dan ilmu dari sisi-Nya.
Singkat kata, ihsan dan amal baik manusia akan berubah menjadi hikmah dan ilmu. Tak pelak lagi, taqwa dan menahan nafsu adalah mishdaq (ekstensi) ihsan yang paling utama.
Saya tidak ingin berpanjang-lebar dalam kajian ini. Karena, penulis merasa tidak memiliki kunci utama menuju kajian yang sangat genting ini. Bagaimanapun juga, saya bevharap Allah menyiapkan dan memudahkan orang yang "layak" untuk mengkaji subyek bahasan ini.
Tak diragukan lagi bahwa jiwa manusia mengalami berbagai kausasi dan interaksi internal. Hal itu sama persis seperti kausasi dan interaksi eksternal yang terjadi dalam bidang fisika, kimia, geologi.
Fisik, umpamanya, mengenal kausasi dan interaksi panas dan gerak, atau arus listrik dan gerak dan lain-lain. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati mengimbau sarjana psikologi keislaman untuk mengupas secara mendalam bidang yang penting ini dari berbagai bidang psikologis dan kemudian menyimpulkan hasil studinya itu.
Peran Destruktif Hawa Nafsu
Hawa Nafsu dan Thaghut
Hawa nafsu dan thâghût -selanjutnya tagut- adalah faktor bipolar (berkutub dua) yang sangat berpengaruh dalam merusak hidup manusia. Hawa nafsu beraksi merusak manusia dari dalam, sedang tagut merusak manusia dari luar. Setan beroperasi dalam jiwa manusia melalui hawa nafsu dan di masyarakat melalui tagut.
Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kita untuk mencegah jiwa dari rayuan hawa nafsu, bahkan menyingkirkannya jauh-jauh.
Allah SWT berfirman: "Janganlah kalian ikuti ajakan hawa nafsu." Q.S. Al-Nisâ` 135.
Allah SWT berfirman: "... Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..." Q.S. Shâd 26
Allah SWT berfirman: " ... Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu..."Q.S.A\-Maidah 48.
Sebagaimana pula Allah menyuruh kita untuk mengingkari dan menjahui thaghut.
Allah SWT berfirman: ''...Mereka hendak berhakim kepada tagut. Padahal niereka telah diperintah mengingkarinya. Q.S. An-Nisâ' 60.
Allah SWT berfirman: uDan orang-orangyang menjauhi tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku". Q.S. Az-Zumar 17.
Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk inenyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu..." Q.S. An-Nahl 36
Akal dan Agama
Dalam menghadapi hawa nafsu dan tagut, Allah telah membevi manusia akal dan agama sebagai petunjuk jalan yang lurus.
Peran akal ialah mengatur prilaku manusia dari dalam (jiwa) dan agama mengatur prilaku manusia dari luar.
Diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali as: "Akal merupakan syariat dalam diri manusia, dan syariat adalah akal di luar manusia.”[31]
Imam Musa Al-Kâzhim as berucap: "Allah mempunyai dua hujjah (bukti) atas manusia. Hujjah yang tampak (zhâhir) dan tersembunyi (bâthin). Hujjah yang tampak ialah para Rasul as dan imam as, sedaugkan hujjah yang tersembunyi ialah akal.[32]
Akal dan agama selalu bahu-membahu dalam diri manusia dan di masyarakat luas untuk menghadang hawa nafsu dan tagut.
Diriwayatkan dari Imam Ali as: "Perangilah hawa nafsumu dengan akalmu.”[33]
Watak Destruktif Hawa Nafsu
Hawa nafsu sebagai daya yang mutlak dengan tuntutan yang mutlak memiliki kemampuan luar biasa untuk merusak jiwa manusia. la tidak dapat diserupai, bahkan setan dan tagut sekalipun.
Lacurnya, daya yang berkapasitas besar untuk merusak ini, laten dan tersimpan dalam jiwa manusia. Tiada jalan bagi manusia untuk bisa menghindar dari jangkauannya.
Oleh karena itu, hawa nafsu merupakan satu dari dua hal yang sangat dikhawatirkan Rasulullah SAWW bila pada umatnya. Rasulullah SAWW bersabda: "Sungguh yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah hawa nafsu dan panjang angan-angan. Hawa nafsu akan membendung seorang dari Al-Haq (kebenaran), sedang panjang angan-angan akan melalaikan seorang dari akhirat.”[34]
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as bertutur: "Kelezatan (duniawi) itu merusak."[35]
Tahap Awal Cara Kerja Hawa Nafsu
Marilah kita renungkan hakikat peran destruktif yang dimainkan hawa nafsu dalam kehidupan manusia. Dalam jiwa manusia - sebagaimana yang pernah saya jelaskan -terdapat sejumlah sumber yang mensuplai kesadaran dan gerak manusia. Sumber-sumber inilah yang menegakkan kehidupan bendawi dan maknawi manusia.
Hawa nafsu adalah salah satu dari sumber ini. Tetapi, jika ia berkuasa, maka sumber-sumber yang lain akan menjadi difungsional. la akan menghentikan peran akal, kalbu, dhamîr, fitrah dan irâdah.
Sabotase terhadap sumber-sumber lain manusia akan mengakibatkan kehancuran yang meluas pada kepribadian manusia. Hawa nafsu lama-kelamaan akan secara membabi-buta meruntuhkan sumber-sumber lam manusia. Pada saat itu, - saat dimana sisi hevvani manusia berkuasa penuh atas manusia-manusia akan kehilangan kemanusiaan. Dan beginilah jadinya, bila faktor yang sangat konstruktif berubah menjadi destruktif.
Allah SWT berfirman: "... Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan urusannya itu sungguh telah melewati batas". Q.S. Al-Kahfi 28.
Maksud dari "melewati batas" di sini adalah menyia-nyiakan dan merusak.
Nash-nash keislaman benar-benar memberikan perhatian yang besar atas peran destruktif hawa nafsu manusia. Tujuannya, agar manusia tidak terpasang jerat halus hawa nafsu dan cepat-cepat memetak posisi hawa nafsu dalam diri mereka.
Selanjutnya, saya berusaha memaparkan peran destruktif hawa nafsu dalam nash-nash keislaman, sesuai dengan metode saya dalam kajian ini. Dalam nash-nash keislaman, kita menemukan bahwa tindakan destruktif hawa nafsu mempunyai dua tahap:
Pertama, merusak fungsi sumber-sumber kesadaran dan gerak manusia.
Kedua, menebarkan pengaruh dan memaksakan kekuasaan eksekutif atas manusia.
Dengan demikian, potensi apapun yang dimiliki manusia, seperti kecerdasan, pemahaman dan kejelian diubah menjadi aparat pemerintahan hawa nafsu.
Di bawah ini, saya akan memaparkan masalah tadi dalam kaca-mata riwayat-riwayat keislaman.
Tahap Pertama
Nash-nash keislaman menyebutkan banyak poin tentang pengaruh destruktif hawa nafsu bagi manusia. Berikut ini beberapa di antaranya:
1- Hawa Nafsu Menutup Pintu-pintu Hati dari Petunjuk
Allah Berfirman: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?". Q.S. Al-Jâtsiah 23.
Firman Allah : "Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya...” Q.S. Al-Qashash 50.
Mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan tertutupnya jendela-jendela hati untuk menerima (kehadiran) Allah. Rasul-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya, hujjah-hujjah-Nya dan bayyinah-bayyinah-Nya.
Amiril Mukminin Ali as berkata: "Meugihuti hawa nafsu akan membutakan, menulikan. dan menghmakan seseorang."[36]
Amiril Mukminin Ali as juga berkata: "Hawa nafsu adalah sekutu kebutaan." [37]
Beliau juga berkata: “Bila kamu mengikuti hawa nafsumu, ia akan menulikanmu dan membutakanmu." [38]
Amiril Mukminin Ali as berkata: "Aku berwasiat agar kamu menjauhi hawa nafsu. Karena, ia mengajakmu kepada kebutaan; yaitu kesesatan di dunia dan akhirat."[39]
2 - Hawa Nafsu Menyesatkan Manusia dan Menghalanginya dari Jalan Allah
Allah SWT berfirman: "Maku datanglah sesudah mcreka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dau memperturutkan hama nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan." Q.S. Maryam 59.
Allah SWT juga berfirman: "... dan janganlah kamu meingikuti hawa nafsu, karena ia akon menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat di jalan Allah akan mendapat azab yang berat." Q.S. Shâd 26.
Rasulullah SAWW bersabda: "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku ialah hawa nafsu dan panjang angan-angan. Karena, hawa nafsu manusia dari kebenaran dan panjang angan-angan melalaikannya dan akhirat."[40]
3 - Syahwat itu Racun
Imam Ali as berkata: "Syahwat adalah racun yang mematikan.” [41]
4 - Hawa Nafsu itu Penyakit
Dan Imam Ali as: "Barang siapa tergesa-gesa mendatangi syahwatnya, maka penyakit akan cepot merasukinya.”[42]
Dari Imam Ali as: "Jagalah jiwau dan cengkeraman syahwat, kamu akan selamat."[43]
Dari Imam Ali as: "Pangkal segala penyakit adalah mabuk kesenangan (duniawi).”[44]
Dari Imam Ali as: "Pasangan syahwat adalah jiwa yang sakit dan akal yang tidak berdaya."[45]
Dari Imam Ali as: "Syahwat adalah penyakit yang mematikan. Sedang obat mujarabnya ialah kesabaran."[46]
Dari Imam Ali as: "Mengikuti hawa nafsu adalah penyakit segala penyakit."[47]
Dari Imam Ali as: "Syahwat berawal dengan kesenangan dan berahir dengan kesedihan."[48]
5 - Hawa Nafsu adalah Awal Nestapa Manusia
Dari Imam Ali as : "Hawa nafsu ialah pangkal bermacam nestapa."[49]
6 - Hawa Nafsu itu Kendaraan Fituah
Dari Imam Ali as Berkata: "Hawa nafsu adalah kendaraan fituah.”[50]
Dari Imam Ali as: "Awal-mula terjadinya fituah karena hawa nafsu yang diikuti."[51]
Dari Imam Ali as: "Waspadai kedudukan hawa nafsu kalian. Karena awalnya fituah dan akhirnya bencana."[52]
7 - Hawa Nafsu itu Keruntuhan dan Kehancuran
Imam Ali as  berkata: "Hawa nafsu  itu  membinasakan.”[53]
Dari Imam Ali as: "Hawa nafsu menjerumuskan seseorang ke tempat yang paling rendah.”[54]
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Jangan umbar keinginan nafsu. Karena, keinginannya adalah kebinasaan."[55]
8 – Hawa Nafsu itu Kemusnahan
Imam Ali as berkata: "Hawa nafsu itu adalah sesuatu yang paling memusnahkan."[56]
Dari Imam Ali as: "Hawa nafsu itu pongkal kemusnahan."[57]
9 - Ihwa Nafsu itu Musuh Manusia
Imam Ash-Shâdiq as berkata: "Awasi hawa nafsumu seperti kamu mengawasi musuhmu. Karena, mengikuti hawa nafsu adalah inusuh utama manusia.”[58]
10  - Hawa Nafsu akan Mendisfungsi Akal
Irnam Ali as berkata: "Hawa nafsu adalah pantangan akal."[59]
Imam Ali as berkata: "Siapa yang tidah menguasai syahwatnya berarti tidak memiliki akalnyu."[60]
Imam Ali as berkata: "Hilangnya (fungsi) akal itu disebabkan (maraknya) rangsangan syahwat dan amarah."[61]
Beginilah jadinya bila hawa nafsu telah berkuasa sewenang-wenang. la berubah dari faktor pembantu manusia dalam taqarrub menjadi faktor perusak yang melumpuhkan segala sumber-pokok kemanusiaan manusia.
Demikianlah tahap pertama dari kerja hawa nafsu yang merupakan sisi negatif-pasif dari tindak destruktifnya.
Tuhap Kedua
Pada tahap pertama, sifat destruktif hawa nafsu hanya sampai pada melumpuhkan fungsi irâdah, akal, dhamir, kalbu dan fitrah manusia yang menurut istilah Alquran disebut dengan "pelalaian hati" (Ighfâlul Qalb).
Pada tahap ini, ia memaksakan kekuasaan eksekutifnya secara totaliter atas diri manusia. Sehingga, mau tidak mau, manusia menjadi pengikut hawa nafsunya. Menurut peristilahan, Alquran tahap kedua ini disebut dengan "Perihal mengikuti hawa nafsu'' (Ittibâu'l Hawâ).
Dalam menjelaskan ke dua bagian ini Allah berfirman: "... dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas". QS. Al-Kahfi 28.
Pada tahap pertama, hawa nafsu benar-benar telah mengosongkan hati manusia dari pemahaman, kesadaran, bashîrah, dan petunjuk.
Kemudian, pada tahap kedua, hawa nafsu mulai memaksakan kekuasaan eksekutifnya secara utuh atas diri manusia, sehingga dia bertekuk-lutut kepadanya.
Jika kedua tahap perusakan ini telah terjadi, akibatnya seperti disebut Alquran. "Keadaannya telah melampaui batas" (wa kâna amruhû furuthô).
Di bawah Penawanan Hawa Nafsu
Pada titik ini manusia telah sepenuhnya dalam genggaman dan penjara hawa nafsu. Pemenjaraan hawa nafsu atas manusia jauh lebih ketat daripada yang dilakukan manusia pada tawanan perangnya. Karena, tawanan perang dipenjarakan sebatas supaya dia tidak lari, melawan atau berbicara selain yang diperintahkan dan berbagai jenis eksploitasi lainnya. Bagaimanapun juga, dia tetap selalu bebas menjalankan tiga hal:
1. Penginderaan; baik pendengaran ataupun penglihatannya. Dia masih mampu melihat dan mendengar seita merasakan  secara  merdeka.  Pihak penawan tidak akan mampu memaksakan perasaan tertentu pada tawanannya. Sehingga -misalnya- tawanan itu melihat yang bagus menjadi jelek atau sebaliknya.
2.     Akal. Tawanan selalu mampu berfikir dan bernalar sekehendaknya. Kebebasannya dalam hal ini persis seperti para penawannya. Lebih jauh, pihak para penawan mustahil bisa memaksakan pola pikir seperti yang mereka inginkan.
3.      Hati. Tawanan selalu bisa menyukai dan membenci semau hatinya tanpa interferensi orang yang menawannya. Bahkan, kadang dia membenci dan kadang mencintai musuh-musuhnya.
Adapun tawanan hawa nafsu diperlakukan secara jauh lebih kejam. Karena, hawa nafsu mampu menembus indera, akal dan hati seseorang. la bisa melakukan campur-tangan dan memaksakan dominasinya rerhadap totalitas manusia. Maka. manusia melihat segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya; jelek menjadi indah dan indah menjadi jelek atau baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik.
Di sini, hawa nafsu merubah penalaran, pemikiran, pemahaman dan pengetahuan manusia tentang kebenaran. Akhirnya. ia menjorok niasuk ke dalam hati seorang dan merubah cinta menjadi benci menurut apa yang dikehendakmya. Selanjutnya manusia akan mencintai musuh-musuh Allah yang seharusnya dia benci dan membenci wali-wali Allah yang seharusnya dia cintai. Lebih-lebih, hawa nafsu bisa menembus dhamir manusia; benteng pertahanan akhir dalam melawan hawa nafsu. Lalu ia mencerabutnya. Setelah itu semua, manusia hidup tanpa kekebalan dalam menghadapi setiap serangan hawa nafsu, setan dan tagut.
Analogi di atas sebenarnya telah dijelaskan nash berikut ini. Diriwayatkan oleh Al-Âmidi dalam kitab Ghurarul Hikam dari Amiril Mukminin Ali as:"Hamba syahwat lebih hina claripada hamba perbudakan.”[62]
Kedua bentuk perbudakan ini sama-sama menghmakan, mengeksploitasi dan mencekik, tapi yang dialami hamba perbudakan sangat ringan bebannya daripada yang dialami hamba hawa nafsu.
Tawanan Hawa Nafsu dalam Nash-nash Keislaman
Mari kita renungkan ayat berikut ini, agar kita mengetahui betapa ketatnya penawanan hawa nafsu terhadap totalitas manusia.
Allah SVVT berfirman: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuduh Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?' Q.S. Al-Jâtsiah 23.
Demikianlah Allah mencabut pendengaran, penglihatan dan hati manusia, maka Hia berubah menjadi yes-man; tidak mempunyai prinsip. Dia limpahkan segala urusannya kepada hawa nafsu yang telah menjadi tuhannya. Ini ialah puncak ketaatan manusia terhadap hawa nafsu.
Imam Ali as diriwayatkan pernah berkata: "Siapa yangg menguasai hawa nafsunya, urusannya akan jaya. Dan siapa yang dikuasai hawa nafsunya, derajatnya okan hina.”[63]
Imam Ali as berkata:  "Binasalah diri seorang yang dikuasai syahwatnya dan diperbudak kerakusannya."[64]
Imam Ali as juga pernah berkata demikian: "Penyembah syahwat adalah tawanan yang tidak akan merdeka."[65]
Imam Ali as berkata: "Berapa banyak akal yang menjadi tawanan pada hawa nafsu yang berkuasa."[66]
Dari Imam Ali as: "Hawa nafsu selalu memperbudak orang-orang bodoh.”[67]
Ini merupakan ungkapan yang jeli. Sebab orang bodoh yang terseret di belakang syahwat akan mudah keluar dari kerajaan jiwanya dan terperangkap jerat halus syahwat.
Kemudian -secara oportunistik- hawa nafsu menunggangi kebodohan untuk menyeret akal, irâdah dan hati ke dalam tampuk kekuasaannya. Semua itu dilakukan secara tersembunyi dan samar-samar, mirip tindak pencurian manusia.
Perbuclakan Hawa Nafsu atas Manusia
Derajat dominasi hawa nafsu ini akan menjurus pada penghambaan manusia kepadanya. Penguasaan yang dipaksakan hawa nafsu atas manusia merupakan bentuk penghambaan.
Untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan firman Allah di bawah ini:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesuduh Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?' Q.S. Al-Jâtsiah 23.
Dan firman Allah SWT berbunyi: "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat mienjadi pemelihara atasnya?" Q.S. Al-Furqân 43.
Bukan alang-kepalang, memang ada manusia yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan yang dia sembah dan dia taati sebagai ganti dari Allah SWT.
Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Tiada tuhan yang disembah selain Allah lebih besar di sisi Allah (dosanya) daripada hawa nafsu yang diikuti."[68]
Imam Ali as diriwayatkan pernah berkata: "Orang bodoh adalah hamba syahwatnya."[69]
Mereka Melupakan Allah dan Diapun Melupakan Mereka
Jika manusia sampai pada keadaan di mana dia terdis-integrasi dari poros 'ubudiayah dan ketaatan Ilahi dan masuk ke poros penuhanan hawa nafsu, maka dia mengalami kemurtadan yang mutlak.
Suatu hal yang pantas untuk disematkan kepada mereka adalah firman Allah: "Mereka melalaikan Allah, maka Kami (Allah) melalaikan mereka."Q.S. At-Taubah 67.
Pada saat seorang keluar dari ‘ubudiyyah Ilahi kepada penuhanan hawa nafsu, Allah melupakan mereka. Setelah itu, dia menjadi bulan-bulanan dan mangsa setan.
Penjelasan Alquran Tentang Peran Destruktif Hawa Nafsu
Allah memutar ulang ceiita Bal'am bin Ba'urah dalarn surah Al-A'raf: "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuaan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai ia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia (lebih) cenderung ke bumi dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, diulurkannya lidalmya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." Q.S. Al-A'râf 175-176.
Konon Bal'am bin Ba’urah adalah cendikiavvan Bani Israil yang telah dianugrahi oleh Allah beberapa ayat yang jelas dan diberikannya pula ilmu dan makrifat serta dikarunia doa yang mujarab.
Musa bin Imran as pernah memohon bantuan kepadanya dalam urusan-urusannya, namun Bal'am mengikuti hawa nafsunya.
Seorang yang 'mengikuti hawa nafsu', seperti cerita tersebut, bisa terjadi dalam dua bentuk di bawah ini:
1.  Menggunakan ilmu untuk  meraih tujuan-tujuan pribadi dan berusaha mendapatkan kebanggaan dan nama baik di hadapan manusia.
2.         Menggtmakan ilmu untuk mendukung tagut demi rnendapatkan upah.
Dalam kedua bentuk ini salah satunya adalah hawa nafsu yang mengusai ilmunya.
Sebenarnya, orang berilmu bukan dipandang dari banyaknya ilmu yang dimiliki (kuantitas). Karena perpustakaan justru lebih banyak memuat ilmu ketimbang kebanyakan ulama. Tetapi, nilai ilmu dilihat dari siapa yang membawa dan bagaimana menggunakannya.
Jika pengemban ilmu adalah orang yang berakhlak baik, seperti akhlak para Nabi, atau ilmunya difungsikan untuk memberi hidayah dan khidmat, maka dia adalah orang alim yang sejati. Kalau tidak, maka kealimannya tidak akan bernilai apa-apa.
Dalam khutbah Syiqsyiqiyyah, Imam Ali bertutur tentang peran orang alim dan tanggung-jawabnya. Demikian tuturnya: "Allah tidak menentukan ulama untuk bertindak seperti orang zalim yang kekenyangan atau orang teraniaya yang kelaparan."
Orang alim yang bangkit melaksanakan ketenluan Allah, akan diangkat derajat, nilai dan kehormatannya setinggi-tingginya.
Menurut narasi dalam sebuah kitab tafsir, Bal'am bin Ba’urah adalah orang yang hawa nafsunya menguasai ilmunya. Maka marilah kita melihat akibat apa yang diperolehnya seperti yang terdapat dalam ayat tadi.
Ayat tadi, meski bercerita tentang Bal'am bin Ba’urah -kalau riwayat itu sahih-, namun hukumnya berlaku pada semua manusia yang hawa nafsunya menguasai dirmya sendiri.
Imam Al-Bâqir as bertutur: "Asalnya, hukiman iti ditujukan kepada Bal'am bin Ba’urah. Kemudian, Allah menggunakannya sebagai perumpamaan akibat bagi setiap manusia - dari kalangan ahli Kiblat - yang mengutamakan hawa nafsunya di atas perintah Allah."[70]
Marilah kita renungkan beberapa akibat yang dialami orang yang telah mengikuti hawa nafsu sebagaimana yang diceritakan Alquran dalam beberapa simpulan berikut ini.
1. Tendensi Berkekulan di Bumi
Tenclensi ini ialah keterpurukan manusia kepada kehidupan duniawi. Karena bumi adalah dunia, maka tendensi berkekalan ke bumi berlawanan dengan kenaikan dan transendensi manusia darinya.
Allah herfirman: "Dan kalau Kami menghendaki, sesunggnhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia (lebih) cenderung ke bumi dan menuruti hawa nafsunya yang rendah...".
Ayat ini menunjukkan pengertian keterjerumusan ke dunia. Apabila pengangkatan diri manusia dari bumi (transendensi) mendapat penawanan yang luar biasa dari "gravitasi" bumi, maka berkekalan di dalamnya adalah "hukum alam" (yang tentunya sangat mudah dilakukan – Peny.). Dengan demikian, mengangkat diri dari al-hayah ad-dunya dan keterjerumusan di dalamnya merupakan suatu perlawanan yang luar biasa beratnya.
Mengangkat diri dari dunia adalah perkara yang amat sukar, sedangkan tunduk pada dunia adalah perkara menerima daya-tarik dan rayuan dunia.
2. Melepaskun Diri dari Ayat-Ayat Allah
Maksud dari melepaskan diri dari ayat-ayat Allah adalah melepaskan diri dari kesadaran dan pengetahuan tentang ayat-ayat Allah. Disamping juga berarti melepaskan diri dari hikmah, makrifat dan bashîrah. "Keterlepasan" (insilâkh) ialah lawan dari "kelengketan" (iltishâq). Dengan kata lain, keterlepasan adalah keterpisahan yang sempurna antara dua hal.
Oleh sebab itu, manusia yang hawa nafsunya adalah hakim dirinya, sama-sekali tidak terkait dengan kesadaran dan bashîrah pada ayat-ayat Allah. Akibatnya, wadah-wadah dalam jiwa mereka akan menolak ilmu dan hikmah, seperti perut yang sakit menolak makanan yang lezat.
Ketika wadah jiwa seorang telah dipenuhi dengan hawa nafsu, maka ia akan menolak ayat-ayat Allah, makrifat, bashîrah, hikmah dan beragam keutamaan lainnya.
Rasulullah SAWW bersabda: "Hati yang telah dipenuhi oleh berbagai syahwat, tidah akan bisa menerima sifat wara".[71]
Rasulullah SAWW bersabda juga: "Hati yang telah diperdayai oleh syahwat, tidah akan bertempat di malakût as-samâ' (kemaharajaan langit)."[72]
Imam Ali as berkata: "Hati yang dibelenggu syahwat tidak akan dapat memanfaatkan hikmah."[73]
Hati adalah tempat yang tidak mungkin akan berkumpul di dalamnya hawa nafsu dan dzikrulah secara berbarengan.
Allah SWT berfirman: "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam satu rongganya..." Q.S. Al-Ahzâb 4.
Jadi, bila manusia mengikuti hawa nafsu, dia pasti lupa terhadap dzikrullah. Sebaliknya pun demikian.
Allah SWT berfirman: "...dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." Q.S. Al-Kahfi 28.
3. Penguasaan Setan atas Budak Hawa Nafsu
Allah SWT berfirman: "Setan membuntutinya (sampai tergoda)." Maksudnya setan benar-benar akan memperdaya manusia semampunya. Mengikuti hawa nafsu berarti memperkuat daya-cengkeram setan atas manusia. Dengan perkataan lain, lebih sering seorang mengikuti hawa nafsu, lebih besar peluang dan kemampuan setan untuk menguasai manusia.
4. Kesesatan dan Penyimpangan
Allah SWT berfirman: " ... maka ia termasuk orang-orang yang sesat." lni adalah konsekuensi logis bagi mereka. Karena orang yang mengikuti hawa nafsu pasti akan lalai terhadap dzikrullah dan setan pun mengusainya. Maka ia tidak mungkin mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan hidupnya pun tidak akan lurus. Seluruh hidup dan sepak-terjangnya selalu dalam kebingungan dan kesesatan.
5. Kerakusan
Allah berfirman: "... maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga)...".
Inilah penyakit yang dikenal dengan nama "anjing gila". Penyakit ini berupa rasa haus yang tidak dapat terpuaskan. Dihardik atau dibiarkan, anjing dalam keadaan seperti ini akan terus menjulur-julurkan lidahnya.
Demikian juga orang yang mengikuti hawa nafsu. Dia akan selalu merasakan haus terhadap dunia, segala keindahan dan harta benda duniawi bahkan dengan kesemuannya itu pun tidak akan memuaskannya baik diwaktu kaya mau pun miskin. Sebagaimana anjing gila yangselalu menjulurkan lidahnya, baik ketika ada air atau tidak,  bahkan  ia tidak merasa puas dengan minum air.
Rasulullah SAWW bersabda: "Bilamana anak cucu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya dia mengharapkan yang ketiganya."[74]
Ketika menjawab pertanyaan orang yang mengeluhkan kerakusannya kepada dunia, Imam Shâdiq as berkata: "Jika sesuatu yang mencukupimu itu memuaskanmu, maka yang sedikit saja sudah mengayakaumu. Jika sesuatu yang mencukupimu itu tidak juga memuaskanmu, maka semua apa yang ada di dunia ini tidak akan memuaskanmu."[75]
Terapi Hawa Nafsu
Kemampuan Destruktif Hawa Nafsu
Peran penting dan manfaat hawa nafsu pada manusia, sebanding clengan besarnya potensi dan kemampuannya. Dan besar potensinya sebanding lengan daya rusaknya. Tak diragukan lagi, hubungan timbal balik yang demikian itu benar-benar ada dalam jiwa manusia.
Hawa nafsu merupakan motor siklus kehidupan. Tanpanya, yakni tanpa seksualitas, keposesifan, egoisme, selera makan-minum, mekanisme bela-diri dan daya amarah, gerobak kehidupan manusia lakkan pernah bergerak.
Peranannya yang besar, efektif dan efisien sebagai penggerak sebanding dengan peranannya sebagai perusak.
Imam Ali as berkata: "Amarah akan merusak hati dan menjauhkannya dari kebenaran."[76]
Imam Ali as juga berkata: " Banyak akal yang lunglai akibat gencarnya keinginan."[77]
Antara Pengekangan dan Pengumbaran Hawa Nafsu
Oleh sebab itu, sikap yang benar dalam menghadapi hawa nafsu bukanlah pengekangan total. Karena, hawa nafsu adalah faktor yang berguna menggerakkan kehidupan manusia.
Mengabaikan dan menyia-nyiakan peran hawa nafsu akan mengakibatkan lumpuhnya faktor terpenting yang ada dalam diri manusia sebagai penggerak utama kehidupannya.
Bahkan, pengekangan dan pengebirian naluri akan menebarkan gejolak jiwa yang sangat tidak sehat bagi kepribadian manusia. Sebaliknya, mengumbar tuntutan hawa nafsu tanpa pernah membatasi adalah sikap yang tidak bisa dibenarkan juga. Sebab, pada saat itu. peran positifnya akan berubah menjadi peran perusak. Dan ini sungguh membahayakan kehidupan manusia.
Atas dasar ini, Islam menentukan sikap jalan tengah atau moderat terhadap hawa nafsu; la mengakui peran pentingnya dan tidak melecehkan keberadaannya.
Allah SWT berfirman: "Diperhiaskan pada manusia kecintaan kepada berbagai syahwat (apa-apa yang diingini); dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang..." Q.S. Âli ‘Imrân 14.
Dan firman Allah SWT: "Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia..." Q.S. Al-Kahfi 46.
Pada titik ini, Alquran mengakui keberadaan hawa nafsu dan menganggapnya sebagai perhiasan dan keindahan. Islam tidak pernah memandangnya sebagai hal yang jelek dan keji bagi kehidupan manusia.
Titik di atas sangat penting untuk memahami sikap Islam terhadap hawa nafsu dan syahwat di mana Islam membolehkan mengikuti ajakan syahwat dengan menikmati keindahan kehidupan manusia.
Allah SWT berfirman: "Makanlah di antara rizki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu..." Q.S. Thâhâ 81.
Allah SWT berfirman: "... dan jangonlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) dunia..." Q.S. Al-Qashash 77.
Di sisi lain, Islam tidak memperkenankan manusia mengikuti semua ajakan hawa nafsu atau hanyut dalam menurutinya tanpa ada pengendali dan pembatasan.
Abu Abdillah as berkata: "Janganlah kamu biarkan nafsu dan kemauannya, karena kemauan nafsu membawa kebinasaan."[78]
Islam juga menetapkan seperangkat penghalang dan pembatas aktivitas hawa nafsu dan syahwat. Dan ini adalah poin ketiga tentang sikap Islam dalam membatasi gerak Hawa nafsu, seperti memenuhi kebutuhan seksual tidak dilarang syariat dan bukan masalah yang hina. Namun. Islam membolehkan dan menganjurkannya dengan meletakkan batasan-batasan menurut ketentuan aturan syariat.
Dan contoh lain, cinta harta tidak dilarang oleh Islam, malahan dibolehkan. Namun, Islam meletakkan beberapa ketentuan untuk mengaturnya.


[1] Penerjemah adalah salah seorang staf pengajar di Pesantren "Al-Ma'hadul Islami" (YAPI - BANGIL)
[2] Beliau udalah salah seorang alumni "YAPI - BANGIL". Aktif dalam menerjemahkan dan mengedit huku-huku keislaman. Dalam huku ini selain memberi pengantar dan editor beliau |uga ikut andil dalam menterjemahkannya. Sekarang sebagai staf ahli pada Penerbit Pesona Bandung.
[3] 'Uddatud Dâ'î, karya Ibnu Fahd Al-Hilly, hal. 79; Ushûl Al-Kâfî, juz II. hal. 335; Bihârul Anwâr, jld. 70 hal. 78, 85, 86; Al-Jawâhirus Saniyah Fi Al-Ahâdîts Al-Qudsiyah, karya Al-Hur Al-Amili hal. 322. Dan diriwayatkan pula oleh Syaikh Muhammad Al-Madany dengan redaksi yang hampir sama dalam kitab Al-Ittihâfât Al-Saniyah Fi Al-Ahâdîts Al-Qudsiyah hal. 37, cet. II.
[4] Ushûl Al-Kâfi, 2:335.
[5] Ushûl Al-Kâfi, 2:335.
[6] Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr, karya Suyuti yang disyarahi oleh Al-Munnawi juz II hal. 220.
[7] Majmu'atul Warrâm/Tanbîhul Khawâtir, hal.163
[8] Ushûlul Kâfî, 2:139.
[9] Bihârul Anwâr, 73:170.
[10] Diriwayatkan dari Rasulullah SAWW: Disaat anak Adam sudah lanjut usia, yang masih melekat padanya adalah dua hal : 1. Keinginan yang kuat (sikap rakus) 2. Angan-angan. Diriwayatkan oleh Anas dari Rasulullah (Dalam Kitab Al-Jâmi’ush Shaghîr, karya Suyûthî, bagian huruf Ba, Juz II, Hal, 371. Aku   pernah   berteman   dengan   seorang   hamba   yang   saleh,   jiwanya ditentramkan oleh Allah  sejak  masa mudanya.  Waktu aku  berjumpa dengannya,   ia   berumur   90   tahun.   Suatu   ketika   ia   berkata   padaku: Sesungguhnya induk syahwat ada tiga hal: 1. Seks 2. Harta 3. Kedudukan. Sungguh aku bisa untuk mengendalikan diri dari yang pertama dan yang kedua semenjak usia mudaku, tapi untuk yang ketiga, aku masih selalu merasakan bahayanya dan aku takut terjerumus dalam cengkeramannya.
[11] Bihârul Anwâr, 70:76 Hadis ke-4.
[12] Nahjul Balâghah, Muhammad Abduh, 1:44 Khothah 15.
[13] Maksucl luiwa nafsu di sini hukan semua ghorîzah. Karena ada sebagian ghorîzah yang tidak sesuai dengan kaidah ini.
[14] Ghurarul Hikam, karya Amudi, 1:380.
[15] Bihârul Anwâr, 73:23.
[16] Tuhaful Uqûl, hal. 96.
[17] Ghurarul Hikam, karya Amudi, 2:121.
[18] Bihârul Anwâr, 17:177.
[19] Wasâ`ilusy Syî’ah, Kitah Al-Jihâd (Jihâd Al-Nafs) bab IX, hadis no. 2.
[20] Bihâul Anwâr, 1:117.
[21] Nahjul Balâghah, Khutbah untuk orang-orang hertaqwa (Hammâm).
[22] Ghurarul Hikam, karya Amudi, 2:111.
[23] Bihârul Anwâr.l2:68 ; Nahjul Bulâghah, Hikmah : 233.
[24] Ghurarul Hikam, karya Amudi, 1:1 18.
[25] Nahjul Balâghah,  Hikmah : 31.
[26] Ghurarul Hikam.
[27] Al-Baqarah : 30.
[28] Q.S. Al-A'râf : 54 dan Q.S. An-Nahl : 12 dan 79.
[29] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Al-Jauzi, hal. 38 yang juga diriwayatkan Suyûthî dalam Al-Jâmi'ush Shaghîr.
[30] Nahjul Balâghah,  Khuthbah 176.
[31] Majma'ul Bahrain, karya Al-Thuraihi, bagian "Akal".
[32] Bihârul Anwâr, 1:137; Ushûlul Kâfî, 1:16.
[33] Nahjul Balâghah.
[34] Bihârul Anwâr, 70:88.
[35] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:13.
[36] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:242.
[37] Nahjul Balâghah, Khotbah, hal. 31.
[38] Ghurarul Hikam, Al-Âmidi, 1:260.
[39] Mustadrak Wasâ`ilisy Sui’ah, 2:345.
[40] Al-Khishâl, karya Ash-Shadûq, 1:27; Bihârul Anwâr, 70:75.
[41] Ghurarul Hikan, karya Al-Âmidi, 1:44.
[42] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:201.
[43] Ibid.
[44] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:372.
[45] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:77-78.
[46] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:90.
[47] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:72.
[48] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 190.
[49] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 50.
[50] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:51.
[51] Nahjul Balâghah, Khutbah 50.
[52] Nahjul Balâghah, Khutbah, 50.
[53] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 12.
[54] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1: 65.
[55] Al-Bihâr, 70:89, Hadis : 20.
[56] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:180.
[57] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:47.
[58] Al-Bihâr, 70:82, Hadis : 12.
[59] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:272.
[60] Mustadrak Wasâ`ilusy Syi’ah, 2:287.
[61] Ibid.
[62] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:40.
[63] Mustadrak Wasâ`ilisy Syi'ah,  2:282.
[64] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:195.
[65] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 2:40
[66] Nahjul Balâghah, bab Al-Hikam, No. 211.
[67] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:45.
[68] Ad-Durarul Mantsûr, 5:72; Thabarî dalam kitab Al-Kabîr; At-Targhîbb wat Tarhîb, 1:86.
[69] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:28.
[70] Majma' Al-Bayân dalam menafsirkan surah Al-A’râf ayat 175-176.
[71] Majmû' Warrâm/Tanbîhul Khawâthir : 362.
[72] Ibid.
[73] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:344.
[74] Majmû' Warrâm/Tanbîhul Khawâthir : 163.
[75] Ushûlul Kâfî, 2:139.
[76] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:67.
[77] Ghurarul Hikam, karya Al-Âmidi, 1:198.
[78] Ushûlul Kâfî, 2:337.